Harmoni
Saya peringatkan terlebih dahulu. Siapkan mental dan
iman untuk membaca tulisan singkat ini. Ini adalah tulisan murni dari refleksi
pemikiran penulis. Efek samping yang ditimbulkan pembaca, ditanggung oleh
pembaca sendiri. Beberapa hal bersifat kontroversial dan mengandung kata-kata
yang vulgar. Tidak cocok untuk anak-anak, tetapi anak-anak boleh tahu. Selamat
membaca..!!
Sudah menjadi kodratnya bahwa segala sesuatu yang ada
di muka bumi ini diciptakan berbeda. Keberagaman manusia dan alam saling
melengkapi membentuk suatu sinergi yang disebut dengan kehidupan. Kegiatan AYD
berangkat dari perbedaan itu, mengumpulkan yang berbeda dan membuat perbedaan
itu saling berberita tentang keunikan yang dimiliki masing masing. Indonesia,
merupakan suatu negara yang memiliki adat, budaya, suku, ras, agama yang sangat
berbeda. Meskipun demikian, kesemuanya dapat berjalan beriringan dan membentuk
suatu harmoni. Itulah keunikan Indonesia. Tunggu...!! Apakah benar Indonesia
itu membentuk suatu harmoni? Atau Indonesia hanya sekumpulan perbedaan yang
saling tinggal di tanah yang sama namun saling tidak memperdulikan satu sama
lain? Apakah perbedaan-perbedaan yang bersentuhan itu yang membuat situasi
Indonesia menjadi seperti sekarang?
Tentang mengapa saya mencoba merefleksikan hal
tersebut, marilah kita tarik kembali dari asal muasal terjadinya pemikiran
tersebut. Pada pre event AYD ketiga Kevikepan Semarang, peserta AYD memutuskan
untuk melakukan safari ke paroki-paroki yang tidak mengirimkan peserta. Empat
paroki dan satu Stasi yang kami kunjungi adalah: Paroki Kudus, Paroki Gubug,
Stasi Penadaran, Paroki Kaliwungu, dan Paroki Sukorejo. Dalam pertemuan dengan
OMK paroki tersebut, saya secara pribadi sempat berbincang dengan beberapa
personel OMK. Yang menarik perhatian saya adalah pertanyaan mengenai “apa yang
orang luar negeri cari tentang Indonesia? Apa yang mereka dapat contoh dari
Indonesia?”. Tema harmoni dan (atau) ketidakpedulian datu sama lain mencuat dan
menjadi pertanyaan dalam diri saya.
Harmoni keberagaman. Dalam KBBI, harmoni dapat berarti
keselarasan, keserasian. Keserasian dapat terbentuk jika terdapat dua atau
lebih hal yang saling bertemu, memiliki pengertian satu sama lain, mencapai
kesepakatan, dan bertindak sesuai dengan kesepakatan. Hal-hal yang tidak pernah
bertemu satu sama lain tidak akan pernah mencapai harmoni. Hal-hal yang saling
ada namun tidak pernah bersentuhan dalam teori sosialogi disebut dengan
kerumunan (bahasa kerennya crowd). In my
humble opinion, Indonesia ini adalah crowd dan belum harmoni. Ibarat kata
seperti gasing, masing-masing kelompok saling ada dan berputar menurut
frekuensinya masing-masing sendiri-sendiri. Frekuensi tersebut tidak akan
terganggu selama tetap berputar pada jalurnya. Jika suatu ketika dua gasing
bertabrakan, maka akan menyebabkan frekuensi putaran terganggu, yang satu dapat
jatuh dan yang lain berusaha menjatuhkan karena bersinggungan. If you know what I am talking about,
itulah Indonesia.
Ah ngaco nih tulisan, SESAT!!! Itu adalah salah satu
ciri tidak harmoni. Orang Indonesia (dan menurut saya orang pada umumnya) yang
sudah berada pada titik kenyamanan paling susah diajak move on. Hahaha nggak
usah deh mikir yang jauh-jauh, misal kamu putus dari pacarmu dan kalo ditanya
kenapa ga bisa move on, jawaban yang paling umum yang akan muncul adalah ‘udah
terlanjur nyaman sih..’. Salah? Tidak. Sudah kodratnya manusia begitu. Manusia
memang cenderung menolak sesuatu yang baru, yang lain, yang tidak sejalan
dengan pemikirannya. Namun di sisi lain, dalam rangka adanya suatu harmoni,
pertemuan dengan sesuatu yang baru, lain, berbeda itu harus terjadi. Dan itu
yang belum terjadi.
Tapi kan kita hidup berdampingan dan baik-baik saja
kan, jarang ada gesekan. Kaya gitu kan cukup disebut harmoni. BULLSHIT banget
tau nggak. Kalau mau kasih contoh harmoni itu, kalo ada pria dan wanita, saling
bertemu setelah belum mengenal satu sama lain sebelumnya. Memutuskan untuk
menjadi partner satu sama lain, dalam perjalanan keduanya pastilah menemukan
sesuatu yang berbeda. Ada perbedaan yang disukai, netral, maupun tidak disukai.
Keduanya memutuskan untuk saling berkompromi mengenai apa yang disukai dan
tidak disukai satu sama lain. Kompromi tersebut membentuk sesuatu yang baru,
sikap tidakan perilaku yang baru, perilaku yang menjadi titik tengah keinginan
keduanya. Itu baru disebut dengan harmoni. Pasangan yang tidak pernah terbuka
satu sama lain mengenai apa yang mereka sukai dan tidak sukai, dan kemudian
berkompromi atas hal tersebut, belum pantas disebut sinergi. Begitu juga dalam
lingkup yang lebih luas, perbedaan dalam masyarakat.
Salah satu hal yang paling rancu dan paling mudah
digunakan oleh pihak-pihak tertentu (secara bertanggung jawab atau tidak saya
tidak berhak mengadili) adalah kalimat “untukku agamaku dan untukmu agamamu.
Wah udah nyinggung-nyinggung agama tertentu nih, ini namanya penistaan. Ayok
kita laporin aja ke polisi atas tuduhan penistaan agama. Kembali lagi, itulah
gambaran orang Indonesia sat ini, mudah sekali tersulut tanpa membudayakan
berdialog. Padahal melalui dialog, orang dapat mengetahui maksud yang
sebenarnya atas perkataan seseorang. DI sini saya hanya mencoba untuk
mengintrepretasi perilaku orang yang menginterpretasi kalimat tersebut.
Bingung? Silahkan dibaca ulang terlebuh dahulu sebelum lanjut. Sudah? Yak lanjut.
Sama sekali bukan kapasitas saya untuk mengkritik, menghakimi, mencela, apalagi
menista kalimat tersebut, sebab saya bukan ahli kitab dan kalimat tersebut
diambil dari salah satu kitab. In my
humble opinion, kalimat itu seringkali digunakan untuk mengkotak-kotakan
satu dengan yang lain yang berbeda dengannya. ‘Aku nggak peduli dengan apa yang
terjadi padamu, yang penting aku. Kamu? Bukan urusanku’. Ignorance is not bliss. Meskipun saya yakin sebenarnya tujuan
kalimat itu baik, tidak mencampurkan urusan dunia dan akhirat. Ada yang tidak
terima? Itulah perbedaan. Mau dipersatukan? Saya ragu.
Salah seorang dosen di tempat saya mengenyam
pendidikan pernah berkata begini. ‘Kamu boleh berpikir nakal untuk urusan
akademik. Tapi jangan pernah berpikir nakal untuk urusan agama’. Dan ya,
seperti yang pembaca pikirkan, saya melanggar hal itu dalam tulisan ini. Tunggu
sebentar, apakah ini tulisan akademik atau bukan? Entahlah. Silahkan pembaca
yang tentukan. Karena hal inilah sejak awal sudah saya peringatkan.
Yang tersisa dari kisah ini adalah sebuah pertanyaan.
Pertanyaan yang saya rasa pantas untuk menjadi bahan renungan, bukan hanya saya
secara pribadi, namun kepada peserta Indonesia secara umumnya. ‘Kalau harmoni
yang orang dari negara lain kagumi dari Indonesia ternyata tidak terjadi,
lantas kemudian apa yang bisa kita tawarkan sebagai tuan rumah? Pengalaman apa
yang bisa kita bagikan untuk mereka?’. Satu yang saya tahu adalah pengalaman
dan keunikan yang kita miliki di daerah masing-masing. Berangkatlah dari situ,
tidak perlu muluk-muluk memikirkan sesuatu yang besar. Bahkan yang terbesar
dibangun dari bagian-bagian yang kecil. Punya jawaban lain? Silahkan saja.
Jika kamu? Iya kamu. Siapa lagi yang saya ajak diskusi
malam itu. Kamu secara sengaja atau tidak, membaca tulisan ini, terima kasih
atas pencerahannya. Ini bukan telan mentah, sudah sempat saya goreng dulu kan.
HAHAHAHAHAHA....
Komentar
Posting Komentar