Dehumanisasi, ASG, dan Analisis Sosial
Mungkin kebanyakan orang menganggap belajar adalah
sesuatu yang dilakukan di sekolah dan tujuannya adalah naik kelas atau
mendapatkan prestasi. Pernyataan itu tidak sepenuhnya benar dan sepenuhnya
salah. Non scholae sed vitae discimus.
Mungkin kata kata tersebut adalah penjelasan yang lebih tepat untuk
menggambarkan sekolah dan belajar. Belajar bukan hanya untuk sekolah tetapi
juga untuk pelajaran kehidupan. Apabila diuraikan lebih lanjut, maka penjelasan
tentang belajar tidak terbatas hanya sampai kegiatan yang ada di sekolah atau
kampus, melainkan juga belajar di mana saja. Dengan melakukan pengamatan di lingkungan
sekitar, menolong sesama kita yang membutuhkan, atau hanya sekedar menonton tv
untuk mengetahui informasi terbaru juga merupakan serangkaian proses belajar.
Di dalam proses
tersebut terdapat yang dinamakan analisis social. Adalah suatu kegiatan
belajar, khususnya bagian dari pelajaran agama, yang tidak terbatas mengkaji
hanya dari buku ajar, tetapi juga melihat realitas yang ada yang terjadi di
dunia jaman ini. Apabila sebelumnya pelajaran agama hanya terbatas pada bahan
ajar yang mengacu pada kitab suci, ansos (analisis social) mencoba melihat
lebih dalam tentang kejadian di dunia berdasarkan sudut pandang kitab suci atau
ajaran gereja. Pengajaran ini menjadi penting karena alasan tersebut. Selain
dapat memahami ajaran gereja, siswa diajak untuk memahami hubungan antara
gereja, realitas yang ada, dan bagaimana tanggapan gereja atas realita tersebut.
Ansos tidak
terlepas dari apa yang disebut dengan ASG (Ajaran Sosial Gereja). ASG menjadi
dasar dalam pengajaran ansos. Pada intinya, ASG memiliki lima prinsip utama.
Ialah Penghargaan martabat manusia, prinsip kebaikan bersama, solidaritas,
subsidiaritas, dan keberpihakan pada yang lemah. Prinsip ini muncul sejalan
dengan pengamatan gereja tentang keadaan dunia di jaman ini. Peumusan prinsip
dasar ASG menjadi semacam acuan tantangan bagi caritas kristiani untuk turut
ambil bagian dalam mengatasi maslah yang terjadi di jaman ini. Tentang apa dan
bagaimana yang sebaiknya dilakukan oleh orang kristiani dalam menyikapi
permasalahan dunia sekarang dari sudut pandang prinsip ASG.
Sebagai tambahan
ASG tidak terbatas hanya dapat digunakan oleh orang kristiani. Karena, gereja
melihat realita yang ada tidak terbatas hanya pada masalah yang dihadapi oleh
umat kristiani, ajaran ASG bersifat universal sehingga menjadi sesuatu yang
dapat digunakan oleh agama dan golongan manapun tidak terbatas pada sekat sekat
tertentu. Dan tentunya prinsip ASG digunakan untuk mencapai kehidupan di dunia
yang lebih baik.
Berkaca pada
prinsip dasar ASG, ansos menggunakannya sebagai dasar dalam pengajarannya.
Untuk itu munculah tiga tahapan pengajaran ansos, ialah SEE, JUDGE, dan ACT. Pada
tahapan pertama “see”, siswa diajak untuk melihat kejadian di dunia berdasarkan
prinsip ASG. Kemudian dari pengamatan tersebut diajaklah siswa untuk berpikir
tentang apa yang mereka lihat dan apakah kejadian yang ada sudah sesuai dengan
prinsip ASG. Setelah itu munculah tahapan “judge” ialah tahapan dimana siswa
diajak untuk memutuskan bagaimana tanggapan mereka tentang kejadian tersebut.
Dan tahapan terakhir adalah “act” dimana siswa diajak untuk bertindak
berdasarkan tanggapan mereka tentang kejadian tersebut. Apabila ditemukan
kejadian yang menyimpang dari ajaran ASG,bagaimana mereka harus bertindak dan
menyikapinya.
Sebagai contoh
konkretnya adalah proses dehumanisasi di jaman ini. Dilihat dari asal katanya,
“de” yang berarti pengurangan, “human” yang berarti manusia, dan “isasi” yang
berarti proses. Maka secara utuh dehumanisasi berarti proses pengurangan
kemanusiaan. Artinya adalah nilai nilai yang sebelumnya dimiliki oleh manusia,
seperti : gotong royong, saling mengasihi, saling membutuhkan satu sama lain,
dan kebutuhan untuk bertatap muka (berinteraksi) mengalami proses pengurangan
dan pemudaran.
Secara tidak
langsung, hadirnya hape mendukung dehumanisasi. Memang dengan adanya hape,
manusia dapat berkomunikasi dengan lebih mudah dan dapat mengirimkan pesan
dengan cepat. Namun seiring berjalannya waktu, hape dilengkapi dengan berbagai
fitur yang memanjakan konsumen. Mulai dari fitur jejaring social sampai beragam
game ada di dalam genggaman. Hal inilah yang sebenarya memicu dehumanisasi.
Sementara seseorang asik dengan hapenya sendiri, entah dengan game atau
jejaring social, kebutuhan seseorang untuk bertatap muka dan berinteraksi
menjadi semakin memudar. Seakan manusia memiliki dunianya sendiri dan
mengabaikan orang lain.
Dari situ terlihat ketidakadilan dan pelanggaran
prinsip ASG. Seorang nenek mencuri kakao dan dihukum 1 bukan 15 hari sedangkan banyak
koruptor yang dijatuhi hukuman yang lebih ringan dari tuntutannya dan bahkan
ada koruptor yang dinyatakan vonis bebas oleh pengadilan tipikor. Ini jelas
bertentangan dengan prinsip kelima ASG, yaitu keberpihakan pada yang lemah.
Kemudian pertanyaan berikutnya adalah apa yang harus
kita lakukan sebagai mahasiswa untuk mengatasi hal tersebut? Mulailah dari hal
yang kecil seperti menjadi mahasiswa yang baik dan jujur. Indonesia kaya akan
orang yang pintar, tidak jujur tetapi maunya berkuasa dan miskin orang yang
pintar, jujur, dan mau berkuasa. Dengan menerapkan kejujuran di lingkungan
kampus, maka di masa mendatang akan tercipta suasana kehidupan sosial yang
jujur dan bersih dan saling menghormati satu sama lain. Tidak ada yang menindas
dan tertindas di antara warga negara.
Sumber
Buku
: Peradaban Cinta Kasih
Komentar
Posting Komentar